BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak abad ke-20, gerakan
pembaruan pemikiran di dunia Islam terjadi secara massif (besar-besaran) dengan
munculnya tokoh-tokoh Muslim ataupun organisasi terkemuka di berbagai negara,
seperti Mesir, Iran, Pakistan, India, dan Indonesia. Gagasan pembaruan tersebut
dimunculkan melalui istilah dan aksentuasi yang berbeda, antara lain tajdid
(renewal, pembaruan) dan ishlah (reform, reformasi), baik yang bertendensi
puritanistik dari segi ajaran maupun revivalistik dari segi politik.
Ide-ide pembaharuan terlihat telah turut mewarnai arus pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Menilik latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya, sangat mungkin diasumsikan bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh ide-ide yang berasal dari luar Indonesia. Seperti misalnya Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), Hasyim Asy’ari Nahdatul ulama (NU) Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat menimba ilmu di Mekkah dan berkesempatan untuk dapat berinteraksi dengan arus pemikiran baru Islam dari Mesir
Dengan kian massifnya kiprah
gerakan pembaharuan Islam di Indonesia di tengah-tengah masyarakat, secara umum
pada awal abad ke-20 M tersebut, corak gerakan keagamaan Islam di Indonesia
dapat dipetakan dengan meminjam istilah Achmad Jainuri sebagai berikut:
Ø Tradisionalis-konservatis, yakni mereka yang
menolak kecenderungan westernisasi (pembaratan) dengan mengatasnamakan Islam
yang secara pemahaman dan pengamalan melestarikan tradisi-tradisi yang bercorak
lokal. Pendukung kelompok ini rata-rata dari kalangan ulama, tarekat dan
penduduk pedesaan;
Ø Reformis-modernis, yakni mereka menegaskan
relevansi Islam untuk semua lapangan kehidupan baik privat maupun publik. Islam
dipandang memiliki karakter fleksibilitas dalam berinteraksi dengan
perkembangan zaman;
Ø Radikal-puritan, seraya sepakat dengan klaim
fleksibilitas Islam di tengah arus zaman, mereka enggan memakai kecenderungan
kaum modernis dalam memanfaatkan ide-ide Barat. Mereka lebih percaya pada
penafsiran yang disebutnya sebagai murni Islami. Kelompok ini juga mengkritik
pemikiran dan cara-cara implementatif kaum tradisionalis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Muhammadiyah
Ketika Muhammadiyah didirikan oleh KH, Ahmad Dahlan pada
tahun 1912, umat islam sedang dalam kondisi yang sangat terpuruk, Bersama
seluruh bangsa Indonesia, mereka terbelakang dengan tingkat pendidikan yang
sangat rendah kemakmuran dan ekonomi yang parah serta kemampuan politis yang
tidak berdaya. Lebih memperhatinkan lagi identitas keislaman merupakan salah
satu poin negatif kehidupan umat, Islam waktu itu identik dengan profil kaum
santri yang selalu mengurusi kehidupan akhirat sementara tidak tahu dan tidak
mau tahu dengan perkembangan zaman, Sementara lembaga organisasi keagamaan juga
masih berkelut dengan urusan yang tidak banyak bersentuh dengan dinamika
realitas sosial apalagi berusaha untuk memajukan.
Sebagaimana tercermin dalam profil pendirinya
Muhammadiyah hadir sebagai pendobrak di inspirasikan oleh gerakan pembaharuan
islam di dunia internasional yang ditokohi jamaludin Al-afgani, Muhammad abduh,
Rasyid Ridho dan lain-lain, Muhammadiyah bergerak menggali nilai-nilai islam
yang benar dan universal sebagai petunjuk hidup dan kehidupan. Kemudian
Muhammadiyah berkembang dalam arah gerakan modernis, sebagai avan grade
masyarakat Indonesia yang sedang bangkit dari tidur panjang selama tiga
setengah abad di bawah kolonialisme, sejalan dengan logika modernisme secera
akumulatif Muhammadiyah berkembang menjadi jaringan organisasi besar dengan
amal usaha yang makin meningkat dalam jumlah dan ragamnya.
Ada dua arah perkembangan Muhammadiyah dalam kerangka
kemodernanya, yaitu yang pertama pertumbuhan dan kemajuan ide tentang
pertumbuhan growth dan kemajuan progress merupakan dua kata kunci utama
kebudayaan modern yang menggambarkan akumulasi jumlah quantity dan peningkatan
keragaman diversity.Keduanya merupakan rumusan atau turunan dari ciri utama
modernisme dan materialisme Muhammadiyah mencoba menyuntikkan nilai-nilai
materialisme kedalam masyarakat yang telah keropos karena mengaggap kehidupan
materi duniawi tidak memiliki nilai-nilai secara religius.
Arah perkembangan kedua adalah sistematisasi, yang
merupakan rumusan turunaan dari prinsip modernisme, sistematisasi ini tidak
mengarah organisasional dengan dibentuknya berbagai majelis dan organisasi
otonom melainkan juga dalam kehidupan beragama, mulai di bentuk lembaga untuk
mensisitematisir pemahaman, pemikiran dan pelaksanaan peribadatan yaitu majelis
tarjih dan hasilnya disistematisir dalam sebuah manual himpunan putusan tarjih,
kedua trobosan tersebut, pertumbuhan, perkembangan, kemajuan dan upaya membangun
masyarakat umat islam dari masyarakat bodoh, miskin terbelakang dan terjajah
hinga menjadi masyarakat yang mandiri, makmur dan berpendidikan.
Dua arah perkembangan tersebut di jadikan oleh organisasi
Muhammadiyah dalam kerangka modernisasi dan sistematisasi itu merupakan rumusan
untuk memajukan agama islam yang murni menurut Al-Qur’an dan sunnah
rosull
Karanka pandangan dunia modernis makin lama makin banyak
maendapat kritik karena dianggap tidak lagi sesuai, orang-orang modrnis
dianggap telah melangkah terlalu jauh dengan menjadikan rasionalisme dan
materialisme bukan lagi perangkat analisis, melainkan sebagai ideologi, dengan
menjadikan materialisme dan rasionalisme sebagai ideologi orang-orang modernis
telah mutlak kedua nilai tersebut dan gagal melihat berbagai keterbatasan yang
inheren di dalamnya.
Orang-orang muhamadiyah belum mampu memahami bahwa bentuk
gerakan mereka merupakan sebuah hasil pemikirannya untuk mengatasi tuntutan
keadaan, krangka organisasi modernis hanyalah sarana untuk mengaktualisasikan
nilai-nilai keislaman dalam konteks masyarakat pada waktu itu, modernisme bisa
dikatakan bukan substansi gerakan yang di bangun oleh K.H.A Dahlan hingga
kinipun orang lebih mengenal gerakan anti TBC (tahayul, bid’ah, dan curafat)
dan bukan gerakan sosial dan budaya.
Prinsip utama gerakan Muhammadiyah merupakan hasil
pemahaman terhadap ajaran islam yang termaktub dalam al-qur’ann dan sunnah
hasil pemahaman demikian dirumuskan sebagai pola kelakuan perjuangan
muhammadiyah yang kemudian mendorong memberi arah dan bentuk setiap aktifitas
Muhammadiyah, keseluruhan dari prinsip perjuangan Muhammadiyah dapat
dikelompokan menjadi lima prinsip yaitu;
1. Prinsip gerakan
islam
2. Prinsip gerakn
sosial
3. Prinsip gerakan
dakwah
4. Prinsip gerakan
ilmu
5. Prinsip gerakan
tajdid
Dari 5 prinsip tersebut merupakan sistem gerakan
muhammadiyah dalam pembaharuan islam, Dilain pihak KH, Ahmad Dahlan juga
melihat perlunya dilakukan pembaharuan system pendidikan islam dari pesantren
menjadi system pendidikan modern, karena itu tidak mengherankan jika berdirinya
muhammadiyah diawali dengan “pendiri sekolah islam, yaini gabungan antara
pendidikan umum dengan system madrasah, dirumah sendiri dikampung kauman
yogyakarta, melalui lembaga pendidikan inilah pendiri Muhammadiyah ini mencoba
merealisasikan gagasannya untuk menjadi organisasi sosial keagamaan berlebel
Reformasi. Hubungan sistematik kelima prinsip gerakan Muhammadiyah menjadikan
setiap akivitas harus menjalankan kelima prinsip tersebut, hal ini berarti
bahwa suatu kegiatan sebagai penerapan satu prinsip lainnya bahkan sekaligus
merupakan penrapan prinsip lainnya, namun demikian karena prioritas nya
diterapkan sebagai satu prinsip gerakan tertentu, maka arah utama dari kegiatan
tetap didasarkan pada prinsip garakan.
Kehadiran sebuah organisasi sosial keagamaan dengan
predikat pembaharu pada dasa warsa kedua, abad kedua puluh ini dipandang
sebagai satu kemajuan besar dikalangan umat islam.. Tradisi keagamaan yang
dipengaruhi oleh budaya keraton dan sinkretis, menyebabkan K.H.A. Dhlan memilih
pembaharuan sebagai upaya memurnikan ajaran islam, dengan cara mengembalikannya
kepada dua sumber utama yaitu; Al-Qur’an dan As-sunnah.
Sejak Muhammadiyah didirikan “bernawitu” menjadi gerakan
islam sesuai dengan bimbingan Allah dalam A-Qur’an serta teladan Rosulullah
dalam fikiran modern yang selaras dengan kedua basis sebelumnya, dengan
dasar-dasar tersebut Muhammadiyah mampu menumbuhkan cara hidup yang dinamik,
rasional, dan individualistic serta gaya hidup kota yang duniawi dan mampu
mengkombinasikan pola dan metodeorganisasi barat yang modern dengan prinsip dan
nilai islam mempunyai kepercayaan pada diri sendiri, jadi jelas pilihan yang
dijatuhkan, sebagai gerakan tjdid menempati dua sisi mata uang yang sama.
Pemurnian islam dari segala bentuk bid’ah dan kurafat serta penerapan islam
dalam masyarakat dengan pola dan metode modern.
Dengan Islam benar Muhammadiyah menjadi kokoh, teguh dan
berpribadi dengan ilmu-ilmu modern Muhammadiyah lebih mudah menerapkan islam
dalam kehidupan masyarakat.
Etos Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan islam terlalu sederhana untuk
hanya dikaitkan dengan masalah kekuasaan politik apa lagi jabatan presiden,
menteri atau DPR. Karena itu, penting bagi Muhammadiyah untuk tetap konsisten
pada jati dirinya sebagai gerakan sosial dan budaya, jika pada satu masa nampak
ketergiuran kader gerakan ini pada permainan kekuasan adalah pertanda dari
sebagai pusat keunggulan peradaban, walaupun demikian, bagi muhammmadiyah,
kejkuasaan atau partai politik bukansesuatu yang di pandang tidak panting atu
di luar keberadaan dirinya sebagai gerakan sosial atau kebudayaan.
Di dalam dinamika demokrasi politik kebangsaan dan
orientasi pad aide masyarakat madani di masa depan peran penting Muhammadiyah
justeru terletak psda kemampuan gerakan menempatkan diri sebagai pencerah
peradaban sebagai etos gerakannya. Inilah sebenarnya pesan pembaharuan kiayi
Ahmad Dahlan, sehingga pada awal kemunculannya ia mampu menyerap berbagai pusat
keunggulan pada masanya.
Gerakan tersebut mulai berubah lagisetelah mengalami
formalisasi atas pembaharuannya dalam berbagai lembaga dan terutama sesudah
pengembangan Tarjih sebagai lembaga fatwa hukum fikih, sejak itu tidak lama
pendiri wafat, sebenarnya gerakan ini mulai mengalami proses tradisionalisasi,
Muhammadiyah seolah-olah identik dengan tarjih yang kemudian diartikan hanya
sebagai lembaga fatwa syariah (fikih).
berdirinya
Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut:
(1)
Membersihkan
Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam. Cntohnya:
mengadakan pesta minuman keras, main judi, panco apabila ad raja2 yg meninggal
di istana. Lalu memotong kerbau.
(2) Reformulasi
doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern
(3) Reformulasi
ajaran dan pendidikan Islam; dan
(4) Mempertahankan
Islam dari pengaruh dan serangan luar
Formalitas
beragama adalah fokus utama yang ingin didekonstruksi oleh Kyai Dahlan. Ide
pembaharuannya menyangkut akidah dan syariat, misalnya tentang upacara ritual
kematian, upacara perkawinan, kehamilan, sunatan, berziarah ke kuburan keramat,
memberikan sesajen kepada hal yang dianggap keramat dan sebagainya. Menurut
Kyai Dahlan, hal-hal tersebut bertentangan dengan Islam dan dapat menimbulkan
perbuatan syirik dan musyrik. Kyai Dahlan juga berupaya menegakkan ajaran Islam
sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist, berusaha mengedepankan ijtihad jika ada hal
yang tidak dapat dalam Al-Qur’an maupun Hadist serta berusaha menghilangkan taqlid
(pendapat ulama terdahulu tanpa ada dasarnya) dalam fiqih dan menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar.
1.
Pembaharuan
Lewat Politik
Tahun
1922 Kiai membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu ialah
mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah
hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah.
Badan Musyawarah ini diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton.
Meskipun pernah berbeda pendapat, Moehammad Kamaludiningrat ini yang mendorong
para pimpinan Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis
ini diketuai Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan
tertarik pada kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.
Tahun
1909, Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai
wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan
pendidikan Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7
orang pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah
dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917
diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan.
Untuk mengetahui informasi perkembangan pemikiran di Timur Tengah Ahmad Dahlan
menjalin hubungan intensif melalui Jami’at Khair dan masuk menjadi anggotanya
pada tahun 1910. Ketika Syarikat Islam berdiri, Ahmad Dahlan pun ikut serta
menjadi anggota.
Rupannya dengan masuknya Ahmad Dahlan pada semua organisasi tersebut di atas
dakwahnya semakin meluas dan mendapat respon positif dan di dukung oleh
kalangan modernis dan perkotaan. Dari sinilah Ahmad Dahlan mendapat masukan
dari berbagai pihak, yang akhirnya pada tanggal 18 November 1912 Ahmad Dahlan
mendirikan wadah gerakan bagi pikirannya yaitu “Muhammadiyah”
2. Pembaharuan
Lewat Pendidikan
Tak kalah penting dalam pembicaraan kita
tentang Kyai Dahlan adalah semangatnya sebagai seorang pendidik. Beliau begitu
intens mengkritik dualisme pendidikan pada masanya. Pandangan muslim
tradisional terhadap pendidikan terlalu menitikberatkan pada aspek spiritual
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari lembaga pendidikannya yaitu
pesantren. Pesantren lebih mengembangkan ilmu agama dibanding ilmu pengetahuan
sehingga menyebabkan kemunduran pada dunia Islam karena umat Islam hanya
memikirkan masalah akhirat dan menimbulkan sikap pasrah.
Begitu pun dengan sistem pendidikan
kolonial. Dilihat dari metode pengajaran dan alat-alat pendidikannya, memang
terbilang banyak sekali manfaat dan kemajuan yang bisa diraih siswa dari
pendidikan kolonial ini. hanya saja, dalam sekolah kolonial tidak terdapat
pelajaran tentang agama, khususnya Islam. Hal ini menyebabkan siswa cakap
secara intelektual namun lemah karakter dan moralitasnya. Karena itulah Kyai
Dahlan memandang penting persoalan sinergi antara ilmu umum dan agama. Karena
itulah institusi pendidikan Muhammadiyah tidak memberlakukan pemisahan antara
ilmu umum dan agama.
Sekolah Muhammadiyah yang pertama telah
berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai organisasi berdiri. Pada tahun
1911 Kyai Dahlan mendirikan sebuah madrasah di rumahnya yang diharapkan bisa
memenuhi kebutuhan kaum muslim terhadap pendidikan agama dan pada saat yang
sama memberikan mata pelajaran umum. Di sekolah itu, pendidikan agama diberikan
oleh Kyai Dahlan sendiri dan pelajaran umum diajarkan oleh seorang anggota Budi
Utomo yang juga guru di sekolah pemerintah.
Dahlan menyinergikan antara ilmu umum dan
agama ini merupakan sebuah antitesis terhadap Prof. Snouck Hurgronje. Inilah
sebab mengapa pemikiran Kyai Dahlan di bidang pendidikan merupakan sebuah
terobosan yang membawa dampak besar bagi umat. Lebih jauh kedepan, dapat kita
lihat hasilnya dengan munculnya kader-kader Muhammadiyah yang turut mewarnai
dunia politik dengan membawa identitas ke-Islamannya.
B. PERSIS
(Persatuan Islam)
Lahirnya Persis Diawali dengan
terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung
yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan
kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam,
menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi
baru dengan cirri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923,
bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi
mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis). Nama persis
ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha
dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan
kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan
rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Falsafah ini
didasarkan kepada firman Allah Swt dalam Al Quran Surat 103 : “Dan berpegang
teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Allah seluruhnya dan
janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan
oleh Tirmidzi, “Kekuatan Allah itu bersama al-jama’ah”.
Tujuan dan Aktifitas Persis
PERSIS sebagai
organisasi yang berlebel Modernis lahirnya persatuan islam di telah memberi
warna baru bagi sejarah peradaban islam di Indonesia, persis yang lahir pada
abad ke-20 merupakan respon terhadap kerakter keberagaman masyarakat islam di
Indonesia yang cendrung sinkretik, akibat pengaruh prilaku keberagaman
masyarakat, Indonesia sebelum kedatangan islam praktik-2 sinkretisme ini telah
berkembang subur, akibat sikap akomodatif para penyebar islam di Indonesia
terhadap adat-istidat yang sebelumnya telah mapan. Meskipun tidak dapat di
pungkiri, bahwa keberhasilan penyeberan islam juga tidak lepas dari sikap
akomodatif. Bagi PERSIS, praktik sinkretisme merupakan kesesatan yang tidak
boleh dibiarkan berkembang dan harus segera dihapus karena bias merusak
sendi-sendi fundamental agama islam.
Hal lain yang mejadi sasaran reformasi yang dilakukan
persis adalah kejumudan berfikir yang dialami oleh sebagian besar umat islam
Indonesia akibat tklid buta yamg mereka lakukan dalam menjalankan syari’at
agama. Sebagai mana diketahui, bahwa praktik peribadatan masyarakat Indonesia
pada umumnya didasarkan pada hasil rumusan para imam mazhab 800 tahun silam,
Mereka beranggapan bahwa, hasil ijtihad para imam mazhab tesebut merupakan
keputusan terbaik dan harus di ikuti apa adanya.
Dilacak dari akar sejarahnya, reformasi yang diusung
persis merupakan pengaruh dari faham wahabi melalui para pendirinya, yaitu
ketika organisasi persis pertama kali didirikan dikaota, di pelopori oleh H.
Zam-zam dan H. Muhammad Yunus, mereka adalah ulama persis yang pernah pengenyam
pendidikan di darul ulum, mekkah tempat berkembangnya paham wahabi. Hasil
beklajar H. Zam-Zam ini kemudian di tularkan kepada segenap rekannya seperti H.
Muhammad Yunus dan beberapa rekan lainnya yang sama-sama melakukan kenduri secara
rutin di bandung, yang di isi dengan kajian-kajian keislaman dan teks-teks
klasik dari ulama salafi. Muhammad yunus sendiri, meskkipun dia tdak pernah
belajar di mekkah, dia memiki kemampuan bahasa arab, serta memiliki semangat
yang tinggi untuk mengkaji kitab-kitb bahasa arab yang di belinya, dari hasil
kajian-kajian inilah kemudian lahir pemikiran gerakan dan keislaman sebagai
refleksi kritis terhadap situasi dan kndisi masyarakat islam indonesi, pemikir
pembaharu yang banyak menentang praktik keagamaan yang tradisional dan banyak
di pengaruhi oleh pemikiran salafi.
Dalam kepemimpinan persis periode pertama (1923-1942)
berada di bawah pimpinan H. Zam-zam, Muhammad yunus, Ahmad hasan, dan Muhammad
Natsir yang menjalanka roda organisasi pada masa penjajahan colonial belanda,
dan menghadapi tntangan yang berat dalm menyebarkan ide-ide dan pemikiranna.
Pada masa penduduk jepang (1942-1945), ketika semua organisasi islam dibekukan,
para para pemimpin dan anggot persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niposisasi
dalam pemusyrikan ala jepang,hingga menjelang proklamasi kemerdekaan pasca
kemerdekaan, persis mulai reorganisasi yang telah di bekukan selama penduduk
jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan persis di pegang oleh
para ulama generasi kedua diantaranya KH. M. Isa Anshari, sebagai ketua umum
persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhrudin Al-khahiri, K.H.O. Qomaruddin
Saleh, dan lain-lain.
Pada masa ini persis dihadapkan pada pergolakan politik
yang belum stabil, pemerintah republik Indonesia seperti mulai tergiring kearah
demokrasi terpimpin yang di rancangkan oleh presiden Soekarno dan mengarah pada
pembentuk negara dan masyarakat dengan ideologi Nasionalis, agama, komonis
(NASAKOM), Setelah berakhirnya periode kepemimpina K.H. Muhammad Isa Ansshary,
kepemimpinan persis di pegang oleh K.H..E. Abdurahman (162-1982) yang
dihadapkan pada berbagai persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran
keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu isa bugis, isa bugis, islam
jama’ah, darul hadist, inkarus sunnah, syi’ah, ahmadiyah dan faham sesat
lainnya. Kepemimpinan K.H.E Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A LAtif Muctar, MA
(1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi
dari tokoh-tokoh persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaan (pemuda
persis).
Pada dasarnya, perhatian persis ditujukan terutama pada
faham Al-Qur’an dan sunnah, hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas
diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tablgh, khutbah, kelompok
studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan
majalah-majalah dan kitab-kitab, serta, serta berbagai aktifitas keagamaan
lainnya, tujuan utmanya adalah terlaksananya syari’at islam secara kaffa dalam
segala aspek kehidupan, untuk mencapai tujuan jam’iyyah, persis melaksanakan
berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang mulai dengan mendirikan
pesaantren persis pada tanggal 4 maret 1936, dari pesantren persis ini kemudian
berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (taman
kanak-kanak ) hingga perguruan tinggi, kemudian menerbitkan berbagai buku,
kitab-kitb, dan majalah antaralain majalah pembela Islam (1929 ), majalah
Al-fatwa,(1931), Al-lissan (1935), majalah At-taqwa (1937) majalah Al-hikam
(1939), majalah Aliran islam (1948), majalah risalah (1962), serta berbagai
majalah yang di terbitkan di cabang-cabang persis.
Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah
menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak di gelar di daerah-daerah,
baik atas inisiatif pimpinan pusat persis maupun permintaan dari cabang-cabang
persis, undang-undang dari organisasi islam lainnya, serta masyarakat luas.
B. NU (Nahdlatul Ulama)
Nahdatul ulama (NU) lahir pada tanggal 31 januari 1926 di
Surabaya, organisasi ini di prakarsai oleh sejumlah ulama terkemuka, yang
artinya kebangkitan para ulam, NU didirikan untuk menampung gagasan keagamaan
para ulama tradisional, atau sebagai reaksi atas prestasi ideologi gerakan
modernisme islam yang mengusung gagasan purifikasi puritanisme, pembentukan NU
merupakan upaya peorganisasian dan peran para ulama, pesantren yang sudah ada
sebelumnya, agar wilayah kerja keulamaan lebih ditingkatkan, dikembangkan dan
di luaskan jangkauannya dengan kata lain didirikannya NU adalah untuk menjadi
wadah bagi usaha mempersatukan dan menyatukan langkah-langkah para ulama dan
kiai pesantren.
Dalam pandangan NU tidak semua tradisi buruk, usang,
tidak mempunyai relevansi kekirian, bahkan tidak jarang, tradisi biasa
memberikan inspirasi bagi munculnya modernisasi islam penegasan atas pemihakkan
terhadap “warisan masa lalu “ islam di wujudkan dalam sikap bermazhab yang
menjadi typical NU, dalam memahami maksud Al-Qur’an dan hadist tanpa
mempelajari karya dan pemikiran-pemikiran ulama-ulama besar seperti, Hanafi,
Syafi’I, Maliki, dan Hambali hanya akan sampai pada pemahaman ajaran islam yang
keliru.
Demikian juga dalam pandangan kiai, hasyim yang begitu
jelas dan tegas mengenai keharusan umat Islam untuk memelihara dan menjaga
tredisi islam ditorehkan para ulama klasik. Dalam rangka memelihara system
mazhab kiai Hasyim merumuskan gagasan ahlusunnah waljama’ah yang bertumpa pada
pemikiran, AbuHasan al-asyari, Mansur Al-Maturdi imam Hana fi, Maliki, syafi’I,
dan Hambali, serta ima Al-ghozali, junaid Albaghdadi dan imam mawrdi..
Dengan latar belakang aktivitas-aktivitas kemasyarakatan
dan ekonomi di sekitar pesantren yang mulai menjamur pada akhir dasawarsa 1970
dan 1980, muncul wacana-wacana baru, yang berani mempertanyakan interprestasi
khazana klasik yang sudah mapan dan mencari relevansi tradisi islam untuk
msyarakat yang sedang mengalami perubahan secara cepat, merupakan suatu
perkembangan revolusioner, baik daalam aktivitas LSM maupun dalam wacana yang
berkembang. Perhatian mulai bergeser dari para kiai sebagai tonggak organisasi
NU kepada massa besar, akar rumput yang merupakan mayoritas jama’ahnya tetapi
kepentingannya selama ini lebih sering terabaikan. Dominasi akivitas dan wcana
NU dan keturunan mereka (kaum Gus-gus), telah mulai terdobrak, sebagian besar
aktivis dan pemikir muda yang memberi nuansa kepada NU pada dasawarsa 1980 dan
1990 tidak berasal dari kasta kiai melainkan dari keluarga awam, yang mengalami
mobilitas sosial, tetapi perlu kita dicatat bahwa mereka bias muncul karena mnendapat
dukungan dan perlindungan dari sejumlah tokoh muda dari kalangan elit seperti,
Fahmi sifuddin, Mustafa bisri, dan Abdurahman Whid.
Paham Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah wal jama'ah, sebuah pola
pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu
sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an dan sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik.
Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari
dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti salah satu mazhab
seperti imam Syafi'i Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang
mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Usaha Organisasi
Ø Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan
meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam
perbedaan.
Ø Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan
yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa,
berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya
Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai
daerah khususnya di Pulau Jawa.
Ø Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan
rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
Ø Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan
kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya
ekonomi rakyat. Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain
yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
Ø Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi
masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
BAB III
KESIMPULAN
Pembaharuan adalah pikiran atau
gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru
yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Munculnya
modernisasi/pembaharuan berawal dari situasi dan kondisi umat Islam yang belum
maju.
Islam adalah agama yang indah,
variatif dan selalu memberikan kemudahan pada pemeluknya. Agama ini
merupakan rahmat bagi seluruh alam. Pembaharuan yang terjadi khususunya di
indonesia merupakan bukti bahwa islam bisa beradaptasi dengan zaman yang
senangtiasa berkembang. Gerakan-gerakan yang muncul pasca pembaharuan merupakan
indikasi kuat bahwa agama ini tidak stagnan dan koserfatif
Ide-ide pembaharuan terlihat
telah turut mewarnai arus pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Menilik
latar belakang kehidupan sebagian tokoh-tokohnya, sangat mungkin diasumsikan
bahwa perkembangan baru Islam di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi oleh
ide-ide yang berasal dari luar Indonesia. Seperti misalnya Ahmad Dahlan
(Muhammadiyah), Nahdatul ulama (NU) Zamzam (Persis), yang ketiganya sempat
menimba ilmu di Mekkah dan berkesempatan untuk dapat berinteraksi dengan arus
pemikiran baru Islam dari Mesir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar